Cerpen Tugas Liburan

Tema : Kemanusiaan
Judul : Secercah Senyuman

Selangkah demi selangkah yang kulalui dengan sebuah senyuman dan kurasa selalu bisa mengisi hari-hariku yang selalu bahagia. Pagi ini mungkin sekolah masuk seperti biasanya dengan senyuman ayah, mama, dan kakak. Ini aku Dewi anak MAN 3 kediri, disini ku awali langkahku, karena hari ini adalah pertama kali aku masuk di sekolah ini, sekolah yang aku impikan. Aku mempunyai banyak teman disini, Ita adalah salah satu temanku yang gila K-Pop alias penggemar korean pop apalagi yang namanya Bunga, koleksi barang-barang K-Pop nya waw nggak diragukan lagi, waktu itu ada konser di Jakarta dari ribuan penggemarnya disini dia yang pertama kali mendapatkan tiket dengan harga yang lumayan sangat mahal bagi kantong para siswa yang sekarang ini dilanda kenaikan BBM. Kalo sahabatku Nuha dan Hima sangat pendiam tidak seperti yang namanya Bunga dan Ita yang selalu ngomongin soal K-Pop, tapi Nuha dan Hima lebih gemar membaca, ya memang dikelasku mereka sering dijuluki kutubuku tapi biasanya kutubuku itu sering membaca tentang pelajaran-pelajaran, tapi kalau ini komik, novel, resep-resep masakan , unik deh pokoknya kalo aku cenderung seperti Nuha dan Hima, soalnya aku nggak suka sama K-Pop. Kami semua terdiam saat salah seorang guru memasuki ruang kelas kami, beliau berpesan jika hendak pergi keluar kota karena suatu hal, tapi inilah yang tidak aku suka, beliau memberi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam waktu sehari, jadi besok harus dikumpulkan dan kebetulan aku sekelompok dengan Nuha, aku sangat senang berkelompok dengannya karena dia tidak banyak tau hal tentang K-Pop, mungkin saja jikalau aku sekelompok dengan Ita ataupun Bunga, pasti mereka akan membicarakan tentang K-Pop saat mengerjakan tugas kelompok, aku menghela napas lega.
Malam itu aku dan Nuha terjaga di rumahku, ia sengaja menginap karena pekerjaan kelompok yang harus diselesaikan dalam sehari, setelah menyelesaikan tugas yang lumayan sulit kami terlelap dalam kehangatan hujan malam. Ternyata rizki kami ditunda, musibah melanda desaku. Bingung, ketegangan, kalut, kesedihan tumpah menjadi satu. Tanah dari longsoran gunung di desaku menimbun  dan menyelimuti rumah-rumah disekitarnnya. Aku tak pernah mengira kejadian ini tersurat untuk kami, hingga pagipun datang. Mata yang terpejam sejenak, kini terbuka kembali. Setengah badanku tetimbun tanah. Badanku tidak bisa lagi digerakan. Aku hanya dapat berteriak menyebut nama Allah, orang tuaku, kakakku, dan sahabat-sahabatku untuk meminta bantuan.  Tak satu orangpun ku lihat,hingga hati mulai pesimis dan putus asa. Aku berpikir mungkin ini adalah pertanda bahwa Allah sedang menguji kesabaran kami dalam musibah ini, akupun kembali berteriak meminta bantuan, sembari  aku berdoa semoga kami semua selamat dari musibah ini. Hingga datanglah salah satu sahabatku  Nuha membantu mengeluarkan ku dari timbunan tanah, kulihat badanya dipenuhi luka ringan pada tangannya. Setelah aku berhasil keluar dari reruntuhan tersebut, kamipun bergegas mencari keluargaku.
Akibat longsor yang terjadi aku kehilangan keluargaku. Ayah dan Ibuku tertimpa reruntuhan bangunan, sedangkan Kakakku hilang tertimbun tanah dan belum ditemukan keberadaannya. Mengetahui itu semua aku merasa seperti sedang bermimpi karena  tidak percaya telah kehilangan orang-orang yang sangat aku sayang secepat ini. Rasanya baru kemarin aku masih bisa merasakan lezatnya masakan seorang ibu. Mendengar cerita-cerita seru dari ayah. Mendengar ocehan kakak yang super cerewet, tak kusangka butiran bening jatuh membasahi pipiku, aku hanya bisa meronta-ronta histeris saat kudengar kabar bahwa orang tua dan kakakku yang tertimpa reruntuhan bangunan serta tanah diperkirakan tak bernyawa lagi, saat itu kulihat Nuha berusaha menenangkanku. Nuha memintaku untuk tinggal bersama keluarganya untuk sementara, karena kota tempat tinggalnya cukup jauh dari rumahku yang terkena bencana alam, jadi akan lebih aman.
Sorenya, aku kembali menangis ketika mengingat kejadian yang aku alami hari ini, aku tak percaya ini semua terjadi padaku, tapi apa daya aku harus menerima takdir dari Allah. Aku terus menyemangati diriku sendiri untuk bangkit dari segala kesedihan yang kualami hari ini, aku percaya bahwa Allah tidak akan menguji manusia lebih dari batas kemampuannya dan semua pasti ada hikmahnya sendiri. Aku menghapus kembali butiran yang membasahi pipiku. Aku segera keluar dari kamar baruku itu dan menuju ketempat makan keluarga Nuha, sungguh aku rindu ketika aku makan dimeja makan bersama keluargaku. Lamunanku tiba-tiba terbuyahkan oleh suara lembut ibu Nuha, beliau terus menyemangatiku dan mereka sekarang menganggapku seperti keluarga sendiri. aku sangat berterimakasih pada Allah yang selalu ada disisiku bahkan masih memberikan kenikmatannya sampai saat ini, sehingga aku masih dapat merasakan gula yang manis dan garam yang asin.
Matahari sudah berganti dengan bulan, akupun masih memikirkan hal yang telah menimpaku hari ini, kupandangi langit yang gelap, tak ada satu bintang pun saat itu. Kudengar suara derap kaki menghampiriku dan kuyakin itu pasti Nuha, ia memintaku untuk menemaninya menyumbangkan makanan pada para korban bencana alam yang melanda desaku, entah dari mana aku mendapat kekuatan saat itu, aku hanya mengangguk mengiayakan. Paginya setelah mandi dan sarapan pagi, Nuha dan aku berangkat ketempat pengungsian para korban bencana alam. Setelah sampai, aku disapa oleh tiga temanku yang lain, yang saat itu juga ingin membantu korban bencana alam, disisi lain mereka juga memberiku semangat serta menghiburku.
Waktu itu aku berniat mendonorkan darahku diposko bencana alam untuk membantu korban membutuhkan. Kulihat Ita dan Bunga sudah berbaring disebuah tenda dengan kantong darah disisi kiri mereka. Mereka lantas menyapaku dan menyuruhku untuk segera berbaring disana supaya petugas kesehatan dapat segera mengambil darahku. Aku berbaring disebuah ranjang dekat dengan ranjang tempat berbaring Ita. Kupejamkan mataku, petugas kesehatan sekarang sudah memasukan jarum pada lengan kiriku, tiba-tiba aku berkata pada Ita “Ta, ternyata sakitnya seperti ini ya, tapi aku bersyukur bisa bernapas sampai sekarang terlebih lagi malah aku menyumbangkan darahku untuk korban bencana alam padahal kan aku juga korban bencana alam waktu itu, walaupun pahit, aku tetap bisa merasakan gula yang manis dan garam yang asin, terimakasih juga untuk semua semangat yang kau berikan padaku” lantas Ita pun menjawab “Sama-sama, manusia itukan sudah ditakdirkan untuk saling tolong-menolong bahkan itupun sudah menjadi sikap manusiawi seorang manusia”. Ketika aku mendengar jawaban dari Ita aku merasa lebih bersyukur pada Allah atas segala nikmatnya, mungkin ini semua pelajaran bagiku untuk lebih peduli terhadap sesama tanpa memilih mana yang lebih cocok denganku, kusadari aku memang sedikit cuek di kelas dan kurasa dulu teman-teman yang kuanggap aneh ternyata baik semuaya. Terima kasih ya Allah telah membuatku tersenyum kembali.

 by Kelompok 5 Bahasa Indonesia kelas XII-A3 MAN 3 KOTA KEDIRI

0 komentar:

Posting Komentar

 
  • So For More © 2012 | Designed by Rumah Dijual, in collaboration with Web Hosting , Blogger Templates and WP Themes